KELUARGA.
Keluarga terbentuk dari adanya sebuah pernikahan antar individu. Yaitu penyatuan komitmen seorang laki-laki dan perempuan. Oleh dasar itulah mereka berani melangkah kejenjang yang dinamakan dengan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Setelah menikah dan mengucapkan ikrar janji sumpah setia, sepasang suami-istri memberanikan diri untuka menambah satu atau lebih anggota keluarganya tesebut dengan memiliki seurang anak atau lebih. Karena mereka beranggapan bahwa, keluarga membentuk yunit dasar dari masyarakat kita, maka pengaruh sosial yang paling banyak memiliki efek-efek yang paling menonjol terhadap anggotanya adalah keluarga. Unit dasar ini memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap perkembangan seorang individu yang dapat menentukan bergasil-tidaknya kehidupan individu tersebut. Bersamaan dengan itu pula, keluarga mengadakan “penerimaan” baru bagi masyarakat, dan menyaipkan anak-anak untuk menerima paran-peran dalam masyarakat.
Keluarga juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarganya. Bagi pasanga suami dan istri atau anggota keluarga yang dewasa, keluarga berfungsi menstabilisasikan kehidupan mereka, yaitu memenuhi kebutuhan kasih sayang, sosio-ekonomi,dan kebutuhan seksual. Bagi anak-anak, keluarga memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional, dan seiring dengan itu, keluraga juga memberikan pengarahan perkembangan kepribadian. Sitem kelurga merupakan konteks belajar yang utama bagi suatu perilaku, pikiran dan perasaan dari seorang individu. Orang tua merupakan “guru” yang utama, kaena orang tua menginterprestasiakan dunia dan masyarakat bagi anak-anak.
Lingkungan seperti kekuatan-kekuatan yang penting, semata-mata karena lingkungan mempengaruhi orangtua, dan karena orangtua adalah orang yang menerjemahkan arti-arti pentig yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan luar kepada anak. Keluarga telah lama dilihat sebagai konteks yang paling vital bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Kelurga memiliki pengaruh yang penting sekali terhadap pembentukan identitas seorang individu dan perasaan harga diri.
Dalam sebuah masyarakat, keluarga dipandang sebagai struktur terkecil dari masyarakat tersebut yang terdiri dari individu-individu ;yang merupakan bagian dari jaringan social yang lebih besar. Keluarga inilah sebagai satu-satunya lembaga social yang diberi tanggung jawab untuk mengubah suatu organisme biologis menjadi manusia, yaitu manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan stratifikasi yang ada.
Ilmu sosiologi juga menaruh perhatian besar terhadap keluarga, bukan dilihat dari sisi biologis atau psikologis semata, tetapi lebih menekankan tidak hanya pada hubungan antar anggota, juga pada hubungan antar keluarga dengan masyarakat yang selalu mengalami perubahan.
Abstrak
Tulisan ini mengangkat topik mengenai keluarga. Pada tulisan ini diulas bahwa keluarga memiliki peranan penting dalam membentuk karakter seorang anak. Dalam tulisan ditemukan bahwa sebagai suatu sistem sosial terkecil, keluarga menanamkan nilai-nila moral dalam kepribadian seorang anak. Pada masa pertumbuhan, seorang anak memiliki banyak pertanyaan mengenai hal-hal yang dirasanya baru. Anak memiliki pertanyaan-pertanyaan kritis, disinilah dituntut kemampuan komunikasi yang baik yang harus dimiliki oleh setiap orang tua dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang anak. Keluarga sekarang memiliki fungsi yang lebih kompleks yang mencakup fungsi produksi serta konsumsi. Penulisan ini perlu dilakukan agar pembaca dapat memiliki pandangan bagaimana pengaruh keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter seorang anak.
Kata kunci : perkembangan karakter anak, sosiologi keluarga, psikologi anak
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Di semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran (role relations). Seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses dimana ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain daripadanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki.(Goode, 1983)
Anak-anak memiliki dunianya sendiri. Hal iu ditandai dengan banyaknya gerak, penuh semangat, suka bermain pada setiap tempat dan waktu,tidak mudah letih, dan cepat bosan. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu ingin mencoba segala hal yang dianggapnya baru. Anak-anak hidup dan berpikir untuk saat ini, sehingga ia tidak memikirkan masa lalu yang jauh dan tidak pula masa depan yang tidak diketahuinya. Oleh sebab itu, seharusnya orang tua dapat menjadikan realitas masa sekarang sebagai titik tolak dan metode pembelajaran bagi anak.(Zurayk, 1997)
Perkembangan karakter seorang anak dipengaruhi oleh perlakuan keluarga terhadapnya. Karakter seseorang terbentuk sejak dini, dalam hal ini peran keluarga tentu sangat berpengaruh. “Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Bagi setiap orang keluarga (suami, istri, dan anak-anak) mempunyai proses sosialisasinya untuk dapat memahami, menghayati budaya yang berlaku dalam masyarakatnya.” (Mudjijono, et al., 1995)
Pendidikan dalam keluarga sangatlah penting dan merupakan pilar pokok pembangunan karakter seorang anak. Pendidikan dasar wajib dimiliki tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga masyarakat pedesaan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih dihormati karena dianggap berada strata sosial yang tinggi. Kualitas seseorang dilihat dari bagaimana dia dapat menempatkan dirinya dalam berbagai situasi.
“Manusia Indonesia yang berkualitas hanya akan lahir dari renaja yang berkualitas, remaja yang berkualitas hanya akan tumbuh dari anak yang berkualitas.” (TOR dalam Mudjijono,et al., 1995). Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil memiliki peran penting dalam hal pembentukan karakter individu. Keluarga menjadi begitu penting karena melalui keluarga inilah kehidupan seseorang terbentuk.
Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga merupakan miniatur masyarakat yang kompleks, karena dimulai dari keluarga seorang anak mengalami proses sosialisasi. Dalam keluarga, seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan segala aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan moral dalam keluarga mulai luntur. Arus globalisasi menyerang di segala aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya masyarakat kota tetapi juga masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan.
I.2 Perumusan Masalah
1. Apa fungsi keluarga?
2. Bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku moral anak?
3. Bagaimana peran keluarga terhadap pembentukan karakter anak?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan mengenai fungsi keluarga.
2. Menjelaskan mengenai pengaruh keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan peran keluarga dalam pembentukan karakter anak.
I.4 Kegunaan Penulisan
1. Sebagai media informasi bagi pembaca agar dapat membuka cakrawala mengenai pentingnya komunikasi yang baik dalam keluarga.
2. Sebagai sarana pembelajaran mengenai hubungan antara pendidikan dalam keluarga terhadap perkembangan karakter anak.
BAB II
Fungsi Keluarga
Sebagai sistem sosial terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu. “Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus, dan harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan. Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.”[1] Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang Jawa. “Bagi orang Jawa, keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.”[2] Hildred Geertz memberikan suatu gambaran ideal suatu keluarga sebagai berikut :
(…) bagi setiap orang Jawa, keluarga yang terdiri dari orang tua, anak-anak, dan biasanya suami atau istri merupakan orang-orang tepenting di dunia ini. Mereka itulah yang memberikan kepadanya kesejahteraan emosional serta titik keseimbangan dalam orientasi sosial. Mereka memberi bimbingan moral, membantunya dari masa kanak-kanak menempuh usia tua dengan mempelajari nilai-nilai budaya Jawa. Proses sosialisasi adalah suatu proses kesinambungan di sepanjang hidup diri pribadi (…)(1983:7)
Pengertian keluarga juga dapat dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia. (Munandar, 1985).
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Beberapa fungsi keluarga selain sebagai tempat berlindung, (Mudjijono, et al., 1995) diantaranya :
a) Mempersiapkan anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
b) Mengusahakan tersekenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga sering disebut unit produksi.
c) Melindungi anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
d) Meneruskan keturunan (reproduksi).
Menurut Kingslet Davis dalam Murdianto (2003) menyebutkan bahwa fungsi keluarga ialah :
a) Reproduction, yaitu menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.
b) Maintenance, yaitu perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
c) Placement, memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
d) Sosialization, pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
e) Economics, mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
f) Care of the ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
g) Political center, memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
h) Physical protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan perumahan bagi anggotanya.
Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu[3].
Uraian tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.
BAB III
Pengaruh Keluarga Terhadap Perkembangan Moral Anak
Papalia dan Old (1987) dalam Hawadi (2001) membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap :
- Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir.
- Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.
- Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah.
- Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.
- Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua.
Anak-anak sering bertanya tentang banyak hal, baik yang berhubungan dengan hal-hal yang faktual maupun yang fiktif. Pertanyaan-pertanyaan ini, bagi anak-anak, merupakan ekspresi dari rasa ingin tahu dan menyibak keraguannya, sehingga anak tersebut terdorong untuk mengajukan pertanyaan. Hal ini merupakan kebutuhan psikis alamiah yang dinamakan dengan istilah “cinta meneliti.”(Zurayk, 1997)
Cinta meneliti ini merupakan salah satu pertanda anak yang cerdas. Anak cerdas selalu ingin tahu dan terangsang untuk memcahkan masalah yang baru ditemukannya. Dengan begitu, ia dapat mencoba hal-hal baru dan menciptakan produk-produk pemikiran bagi dirinya sendiri. Gardner (2005) dalam Amstrong (2005), mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang mempunyai nilai budaya.
Anak-anak mulai berpikir kritis dimulai ketika mereka menuju pada panguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian, yaitu pada masa tatih (diatas 18 bulan). Pada masa ini anak-anak mulai mengenal bahasa dan tertarik untuk mempelajarinya. Berbagai pertanyaan kritis mulai terlontar.[4]
Seiring dengan pertanyaan yang keluar dari bibir mungil seorang anak, disinilah peran orang tua bermain. Orang tua dapat menjawab segala pertanyaan anak dengan jawaban yang sebenarnya atau jawaban fiksi yang merupakan karangan orang tua. Orang tua dituntut untuk dapat memberi jawaban yang dapat memuaskan hati seorang anak, sekalipun jawaban itu dirasanya sangat sulit dipahami oleh anak karena pertanyaannya yang bersifat sensitif. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak, pendidikan mengenani moral dan budi pekerti dapat ditanamkan.
Penanaman moral pada diri seorang anak berawal dari lingkungan keluarga. Pengaruh keluarga dalam penempaan karakter anak sangalah besar. Dalam sebuah keluarga, seorang anak diasuh, diajarkan bebagai macam hal, diberi pendidikan mengenai budi pekerti serta budaya. Setiap orang tua yang memiliki anak tentunya ingin anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia cerdas yang memiliki budi pekerti baik agar dapat menjaga nama baik keluarga.
Anak bukan lah orang dewasa, ia memiliki sifat-sifat yang khas. Seorang anak melihat, mendengar, berperasaan, dan berpikir dengan bentuk yang khas, namun tidak keluar dari logika dan perasaan yang sehat. Misalnya, anak-anak itu melihat, mendengar, dan berperasaan sebagaimana orang tua melihat, mendengar, berperasaan, dan berpikir. Karena itu, orang tua seharusnya mempergauli anak-anak berdasarkan pada anggapan bahwa dia adalah anak-anak. Sebagaimana dikatakan, “Pemuda tidak akan menjadi pemuda yang sebenarnya selama masa kanak-kanaknya tidak menjadi anak-anak yang sebenarnya.”[5]
Keluarga memberikan pengaruh pada pembentukan budi luhur bagi seorang anak. Salah satu ciri anak yang berbudi luhur adalah selalu menunjukkan sikap sopan dan hormatnya pada orang tua. Budi luhur yang melekat pada setiap orang bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan. Terutama dalam keluarga dan bukan merupakan keturunan. Dengan kata lain, budi luhur tidak merupakan keturunan melainkan merupakan produk pendidikan dalam keluarga, merupakan perpaduan antara akal. Kehendak, dan rasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran nilai-nilai kebudayaan pada masyarakat. Siaran-siaran televisi kembali menjadi salah satu faktor penyebab lunturnya nilai-nilai tersebut. Hadirnya televisi telah merebut perhatian anak terhadap orang tua. Anak seringkali mengabaikan nasihat yang diberikan oleh orang tua dengan alasan nasihat tersebut terkesan kuno. Dalam kondisi demikian, seorang anak tidak mengetahui yang sebenarnya mengenai nilai-nilai yang seharusnya diberikan orang tua kepada anaknya.
Pada masa sekarang, intensitas bertemu antara anak dengan orang tua sangatlah sempit. Oleh karena itu, orang tua harus mampu membagi waktu dengan baik dan mencari saat-saat yang tepat untuk menyelipkan pelajaran mengenai budi pekerti luhur. Pada saat makan malam misalnya, atau pada saat menonton televisi bersama, sambil membimbing.
Kejujuran merupakan hal terpenting bagi individu dalam menjalani hidup, dan tahap awal penanaman sikap jujur dimulai dari keluarga. Penanaman sikap jujur dalam keluarga dapat dimulai dari perilaku orang tua yang selalu bersikap dan berkata jujur. Dengan begitu, maka akan lebih mudah bagi seorang anak menanamkan sikap jujur pada dirinya karena tidak pernah merasa dibohongi. Dalam suatu keluarga, tidak dapat dipungkiri bahwa sesekali seorang anggotanya melakukan suatu kebohongan. Seseorang melakukan suatu kebohongan biasanya disebabkan oleh rasa takut karena dianggap melakukan kesalahan atau sedang menyembunyikan sesuatu. Dalam banyak hal, sebaiknya orang tua mendengarkan pendapat anaknya, karena bagaimana pun komunikasi dalam keluarga harus tetap berlangsung dengan baik.
BAB IV
Peran Keluarga
“(…)Masa kanak-kanak merupakan masa yang begitu penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian yang akan memberi warna ketika seorang anak kelak menjadi dewasa. Karena itu, kualitas pada pola-pola perkembangan masa anak adalah sangat penting.” (Gunarsa, 2001)
“Keluarga memiliki peranan utama didalam mengasuh anak, di segala norma dan etika yan berlaku didalam lingkungan masyarakat, dan budayanya dapat diteruskan dari orang tua kepada anaknya dari generasi-generasi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.” (Effendi, et al., 1995)
Keluarga memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan moral dalam keluarga perlu ditanamkan pada sejak dini pada setiap individu. Walau bagaimana pun, selain tingkat pendidikan, moral individu juga menjadi tolak ukur berhasil tidaknya suatu pembangunan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting serta sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan intelektualitas generasi muda sebagai penerus bangsa. Keluarga, kembali mengmbil peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Berbagai aspek pembangunan suatu bangsa, tidak dapat lepas dari berbgai aspek yang saling mendukung, salah satunya sumber daya manusia. Terlihat pada garis-garis besar haluan negara bahwa penduduk merupakan sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan nasional. Hal ini pun tidak dapat terlepas dari peran serta keluarga sebagai pembentuk karakter dan moral individu sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat memerlukan adanya sumber daya manusia yang berkualitas baik. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas baik tentunya memerlukan berbagai macam cara. Salah satu diantanya adalah melalui pendidikan. Pendidikan baik formal maupun informal. Pendidikan moral dalam keluarga salah satunya.
Walaupun memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi rendah dalam hal moralitas, individu tidak akan berarti dimata siapa pun. Pendidikan moral dimulai dari sebuah keluarga yamng menanamkan budi pekerti luhur dala setiap interaksinya. Sumber daya manusia berkualitas dapat dilihat dari keluarganya. Bukan hanya keluarga mampu dari segi materi, yang dapat meningkatkan kualitas individunya melalui tambahan-tambahan materi pembelajaran di luar bangku sekolah. Akan tetapi, keluarga sederhana di desa pun dapat menjamin kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya dan keluhuran budi pekerti merupakan hasil tempaan orang tua.
BAB V
Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Keluarga merupakan suatu sistem sosial terkecil yang di dalamnya dapat terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak yang masing-masing memiliki peran. Anak merupakan buah dari keluarga bahagia. Anak-anak memiliki pemikiran kritis akan banyak hal dimulai ketika ia mulai mengenal bahasa.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut seorang anak sebaiknya dijawab dengan jawaban yang jujur dan dapat memuaskan hati anak. Pendidikan moral dan kejujuran bagi seorang anak berawal dari kelurga, melalui orang tua. Hal ini yang dapat membentuk karakter anak di masa depan.
5.2 Saran
Orang tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua juga harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Anak-anak memiliki pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru. Bila orang tua tidak membuka diri terhadap perkmbangan yang ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari anak. Pada akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak langsung menanamkannya pada anak.
Daftar Pustaka
Armstrong, Thomas. 2005. Setiap Anak Cerdas. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Effendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.
Gunarsa, Singgih D. Menyikapi Periode Kritis Pada Anak dan Dampaknya Pada Profil Kepribadian tahun 2001 dalam Psikologi Perkembangan Pribadi dari bayi sampai lanjut usia. Editor: S. C. Utami Munandar. Jakarta: UI Press. 2001.
Hawadi, Reni Akbar. 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Mudjijono, Hermawan, Hisbaron, Noor Sulistyo, dan Sudarmo Ali. 1996 . Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
.Munandar, Utami. 1983. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Psikologis. Depok: UI Press.
Murdianto, Utomo, Bambang S. 2003. Modul Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.
Zurayk, Ma’ruf. 1997. Aku dan Anakku. Bandung: Al-Bayan (Kelompok Penerbit Mizan).
[1]Singgih Gunarsa (1976:9) dalam Mudjijono, et al. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hal. 9
[2] Magnis Suseno (1993:163), dalam Mudjijono, et al. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hal. 5
[3] Ma’fur Zurayk. Aku dan Anakku (Bandung: Al-Bayan (Kelompok Penerbit Mizan), 1997) hal. 21.
[4] Berdasarkan pada analisis pribadi penulis
[5] ibid., hal. 15
http://wimelimonica.wordpress.com/2009/05/26/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-anak/
Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga batih (“nuclear family”). Keluarga batih tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.
Suatu keluarga batih dianggap sebagai suatu sistem sosial, oleh karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang pada pokoknya mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas. Sehingga akan bermunculan beberapa item-item keadaan tertentu apabila kita coba untuk mengapresiasikan dan mengaplikasikan dari unsur-unsur cakupan pokok keluarga batih tersebut.
Profesor Soerjono Soekanto, dalam buku Sosiologi Keluarga: tentang ikhwal keluarga, remaja dan anak, menjelaskan bahwa, masa mendatang merupakan sambungan masa kini, sedangkan masa kini berasal dari masa dulu, orang tua ideal masa dulu, memberikan landasan bagi orang tua ideal masa kini. Hal ini berarti, bahwa hal-hal yang pokok pada masa dulu, mungkin masih dapat dijadikan dasar orientasi pada masa kini. Sikap tindak logis yang mendapat tekanan pada masa kini, tidak perlu menjadi hal yang negatif, apabila disertai dengan penyerasiannya dengan sikap tindak etis dan estetis dalam arti dan penafsiran yang sebenarnya.
Orang tua ideal masa mendatang, merupakan produk orang tua ideal masa kini. Kalau pada masa kini sudah mulai tampak gejala-gejala negatif yang mempengaruhi pola mendatang, maka pengaruh itu sebenarnya harus dihilangkan. Menghilangkan pengaruh yang negatif itu bukanlah dengan cara mengagung-agungkan masa lampau yang sudah lewat, akan tetapi dengan cara menunjukkan bahwa pola yang berlaku dewasa ini tidak akan menguntungkan manusia pada masa mendatang
Ciri orang tua ideal masa mendatang, seyogyanya mulai dipikirkan dan dicoba pada masa kini dalam bentuk usaha untuk lebih menyerasikan nilai spritualisme dengan nilai materialisme yang memang merupakan pasangan. Hal itu tidak akan tercapai, apabila manusia tetap fanatik pada salah satu nilai saja, dengan mengabaikan nilai yang menjadi pasangannya. Orang tua ideal di masa mendatang adalah orang tua yang dapat menyerasikan nilai spritualisme dengan nilai materialisme secara proporsional
Dalam buku ini, penjelasannya tidak hanya mencakup orang tua yang ideal ataupun metode-metode bagaimana orang tua menciptakan sebuah keluarga yang ideal ditinjau dari sudut pandang sosiologisnya saja. Namun banyak hal yang termaktub dalam buku ini diantaranya adalah; peranan keluarga didalam lingkungan sosial dan hukum; tinjauan bimbingan dan konselor mahasiswa tentang keluarga dan tingkah laku sosial, homoseksual ditinjau dari sudut sosiologi dan remaja, dan sebagainya.
Format penjelasan dalam buku ini, mungkin bisa diibaratkan seperti bagaimana halnya kita membuat makalah, jadi dalam buku ini juga terdapat pengantar di bagian pertama dari sub-sub bagian buku yang akan dibahas, dengan menyajikan sebuah permasalahan yang mungkin memang terlihat bagitu spesifik dan menarik untuk dibahas, karena kulasannya berkisar pada realita sosial yang terjadi dewasa ini, bisa dikatakan juga bahwa dalam bagian ini juga diringkaskan rumusan masalah yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Sedangkan di bagian kedua, terdapat pembahasan, yang meliputi tentang pembahasan dari rumusan masalah yang telah dipaparkan tadi beserta langkah-langkah yang harus ditempuh dari sebuah permasalahan. Namun dalam bagian ini jelas lebih luas cakupan dan pembahasannya terlepas dari rumusan masalah yang diangkat, karena dilihat dari beberapa aspek yang juga turut disertakan dalam bagian ini. Dan yang terakhir yaitu bagian penutup, dalam bagian ini adalah ringkasan dari pembahasan masalah serta juga saran yang terformulasikan atas langkah-langkah yang diberikan. Dan yang lebih benefit lagi yang terdapat dalam buku ini ialah, penyusunan kata-kata tidak begitu sulit, sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami kalangan pembaca (red: secara umum), ditambah lagi penyususnan paragraf yang tersusun dengan rapi, juga menambahkan sebuah keunikan dan keindahan buku ini.
Dalam buku ini terdapat penjelasan mengenai remaja, yaitu, apabila remaja muda sudah menginjak usia 17 tahun sampai 18 tahun, mereka lazim disebut golongan muda atau pemuda-pemudi. Sikap tindak mereka rata-rata sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum sepenuhnya demikian. Biasanya mereka berharap agar dianggap dewasa oleh masyarakat. Remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa, sedangkan orang dewasa mereka masih dianggap kecil
Secara umum persoalan-persoalan yang dihadapi remaja berkisar pada masalah pribadi yang khas remaja, misalnya, soal kemandirian, hak dan kewajiban, kebebasan, pengakuan terhadap eksistensi budaya remaja, dan lain masalah yang boleh dikatakan bersifat universalistik. Sehingga persoalan-persoalan itu menimbukan berbagai ciri atau karakteristik pada diri remaja, yang juga bersifat umum, dengan catatan bahwa kemungkinan terjadinya variasi tetap ada
Secara teoritis tidak mungkin untuk menemukan upaya-upaya yang pasti untuk menanggulangi permasalahan yang diuraikan tersebut. Agaknya kunci yang pokok adalah hubungan yang akrab antara ora tua dengan anak-anaknya yang menginjak usia remaja. Hubungan yang akrab itu jangalah semata-mata didasarkan pada kebendaan saja, akan tetapi senantiasa harus diserasikan dengan landasan spitual. Kedua landasan itu tidak mungkin dipisah-pisahkan, apalagi saling menggantikan. Keduanya harus selalu diserasikan, sehingga menghasilkan akibat yang baik
Dengan mempelajari seluk beluk kehidupan remaja secara seksama, orang tua dapat membantu mereka untuk menemukan identitas diri. Pola kehidupan remaja zaman kini mempunyai ciri-ciri tersendiri; janganlah orang tua memaksakan ciri-ciri kehidupan remaja pada zaman mereka pada anak-anaknya. Cara demikian hanyalah memperbesar kesenjangan. Yang seyogyanya dilakukan adalah membandingkan yang sekarang dengan yang terjadi dahulu, kemudian berilah kesempatan pada remaja untuk memilihnya sendiri, sesuai dengan keinginan hatinya sendiri
Namun semua itu tidak lepas dari pengaruh terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, pergeseran tekanan nilai-nilai dan persiapan masa depan anak dengan segala persoalannya. Terjadinya pergeseran tekanan nilai sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan akibat perkembangan ilmu dan teknologi, sebenarnya hal itu sangat tergantung pada pihak yang memanfaatkan ilmu dan teknologi itu. Ilmu dan teknologi pada dasarnya mempunyai sifat netral; tergantung pada manusianya, apakah akan digunakan untuk maksud-maksud positif atau negatif. Oleh karena itu, penggunaan ilmu dan teknologi tersebut hendaknya tidak berhenti pada sekedar penggunannya saja, akan tetapi juga dengan memperhitungkan akibat-akibatnya sepanjang manusia mampu untuk mengadakan predeksi yang akurat. Penerapan ilmu dan teknologi tidak perlu menghasilkan pergeseran nilai, oleh karena dapat ditujukan untuk menyerasikan pasangan nilai-nilai. Ringkasnya, pemahaman ilmuan teknologi tidak hanya digunakan semata-mata, akan tetapi senantiasa harus disertai dengan tanggung jawab penggunaannya
Judul buku ini merupakan dalam rangka pembicaraan mengenai “mempersiapkan masa depan bagi anak”. Ruang lingkup judul tersebut jelas sangat luas, oleh karena berkaitan dengan hampir seluruh bidang kehidupan manusia dalam masyarakat. Kiranya jelas bahwa tulisan ini tidak mungkin membicarakan ruang lingkup yang sedemikian luasnya itu, oleh karena untuk mengalternatifasi itu semua, diadakan pembatasan-pembatasan, agar supaya manfaatnya jelas, walapun dalam ruang lingkup yang agak sempit. Pembatasan pertama adalah pendekatan sosiologis dan hukum (yuridis). Pembatasan kedua adalah mengenai isinya, yang lebih menekankan segi teoritis, sehingga penerapan diserahkan sepenuhnya pada mereka yang menaruh minat untuk membaca tulisan ini. Pembatasan selanjutnya adalah pada nilai-niai yang akan dibicarakan; buku ini hanya akan membahas nilai-nilai yang bersifat umum yang menjadi pegangan bagi kehidupan bersama pada umumnya. Pembatasan selanjutnya adalah pada contoh-contoh yang diberikan. Contoh-contoh tersebut diambil dari bahan pustaka tertentu, atau dilandaskan pada pengamatan sesaat, sehingga hal ini sebenarnya membuka peluang untuk mengadakan diskusi yang lebih mendalam bagi contoh-contoh lain yang tidak dijumpai oleh penyusun tulisan dalam pengamatannya.
Melihat adanya beberapa pembatasan diatas, jelas sekali kalau dengan adanya pembatasan tersebut, yang berimplikasi pada pembahasan yang tidak terlalu melebar dan cakupannyapun tidak terlalu luas, dan merupakan salah satu bagian dari kekurangan yang memang kalau perlu adanya pembenahan dalam pembuatan buku di edisi selanjutnya, demi terciptanya kelengkapan atas kesempurnaan sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar